Keanekaragaman Hayati di Indonesia
Keanekaragaman hayati merupakan hal yang penting bagi kehidupan. Keanekaragaman hayati berperan sebagai indikator dari sistem ekologi dan sarana untuk mengetahui adanya perubahan spesies. Keanekaragaman hayati juga mencakup kekayaan spesies dan kompleksitas ekosistem sehingga dapat memengaruhi komunitas organisme, perkembangan dan stabilitas ekosistem (Rahayu 2016).
Indonesia dikenal oleh masyarakat dunia sebagai salah satu negara megabiodiversity. Sebutan ini didukung oleh keadaan alam di Indonesia dengan iklim tropis yang menjadi habitat yang cocok bagi berbagai flora dan fauna. Hal ini menjadikan keanekaragaman hayati (biodiversitas) di Indonesia menjadi terhitung sangat tinggi (Pahlewi 2017).
Dalam kehidupan sehari-hari keanekaragaman tumbuhan dan hewan dimanfaatkan untuk kebutuhan hidup manusia, baik itu kebutuhan primer maupun kebutuhan sekunder.
Kebutuhan primer manusia yang didapatkan dari alam ini di antaranya adalah kebutuhan sandang, pangan, papan. Selain itu, kesehatan merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia disamping pangan, pemukiman dan pendidikan, karena hanya dalam keadaan sehat manusia dapat hidup, tumbuh dan berkarya lebih baik (Agoes & Jacob, 1996). Manusia
berperan penting dalam memelihara dan meningkatkan kesehatan diri dan lingkungan. Oleh karena itu, manusia memiliki pengetahuan yang menyangkut dengan usaha menghindari dan cara menyembuhkan suatu jenis penyakit.
Saat ini seiring berkembangnya peradaban berkembang, maka budaya manusia tentang kesehatan juga berkembang. Sekarang, saat teknologi semakin maju, pengobatan modern merupakan pengobatan yang dilakukan dengan cara-cara modern atau ilmiah yang sudah diuji cobakan dengan penelitian dan dapat dipertanggungjawabkan.
Perkembangan pengetahuan yang diikuti dengan kecanggihan teknologi tentu saja berpengaruh dalam berbagai aspek kehidupan manusia. Salah satu aspek kehidupan yang berhubungan erat dengan perkembangan teknologi adalah bidang kesehatan. Tak dapat dipungkiri bahwa kondisi ini berdampak pula pada bergesernya gaya hidup seseorang, termasuk dalam menentukan pilihan pengobatan dan perawatan kesehatan diri.
WHO sebagai lembaga kesehatan dunia dalam Congress on Traditional Medicine di Beijing pada bulan November 2008 mengeluarkan suatu pernyataan yang mengejutkan, yakni, pelayanan kesehatan tradisional yang aman dan bermanfaat dapat diintegrasikan ke dalam sistem pelayanan kesehatan. Begitupun pada pertemuan World Health Assembly (WHA) pada tahun 2009, kembali menghasilkan resolusi yang salah satunya WHO mendorong negara-negara anggotanya agar mengembangkan pelayanan kesehatan tradisional di negaranya sesuai kondisi setempat.
Bagaimana dengan di Indonesia yang nota bene adalah negara yang kaya akan sumber daya alam termasuk didalamnya ramuan – ramuan tradisional.
Sejatinya, eksistensi pelayanan kesehatan tradisional masih menjadi pilihan masyarakat. Saat ini pelayanan kesehatan dengan konsep back to nature seperti yang digaungkan oleh Kementrian Kesehatan banyak mendapat perhatian insan tanah air. Keseriusan pemerintah ini dibuktikan dengan dikeluarkannya UU Nomor 36 Tahun 2009 menetapkan kebijakan terkait 17 upaya kesehatan termasuk pelayanan kesehatan tradisional.
Keseriusan dan komitmen pemerintah ini dipertegas dan diperjelas kembali secara gamblang pada akhir tahun 2014 dengan disahkannya peraturan pemerintah nomor 103 tahun 2014 tentang pelayanan kesehatan tradisional. Di sana diatur segala hal terkait pelayanan kesehatan tradisional yang meliputi; tanggung jawab dan wewenang pemerintah pusat dan pemerintah daerah, jenis pelayanan kesehatan tradisional, tata cara pelayanan, sumber daya, pemberdayaan masyarakat, pendanaan, pembinaan dan pengawasan, penelitian dan pengembangan serta publikasi dan periklanan.
Data dari Riskesdas tahun 2013 menunjukan bahwa proposi rumah tangga yang memanfaatkan pelayanan kesehatan tradisional mencapai angka 30,4%. Jenis layanan dengan ketrampilan tanpa alat sebesar 77,8% dan ramuam sebesar 49%. Pada tahun 2018 Riskesdas kembali mengeluarkan data dimana proposi rumah tangga yang memanfaatkan pelayanan kesehatan tradisional naik menjadi 55,7%, 12,9% melakukan upaya sendiri serta 31,4% tidak melakukan upaya kesehatan tradisional. Pada tahun yang sama Rikesda juga merinci jenis layanan kesehatan tradisional yang digunakan; 48% memanfaatkan ramuan jadi, dan 31,8% ramuan buatan sendiri. Proposi pelaku pemanfaatan tanaman obat tradisional paling tinggi ada di propinsi Sulawesi utara yakni 55,6%, menyusul NTT, Sulawesi Barat dan Sumatra Barat Sementara DKI menjadi provinsi terendah, hanya 9,2%.
Kondisi ini menggambarkan bahwa pelayanan kesehatan tradisional merupakan peluang yang cukup besar dan perlu mendapatkan ruang khusus serta perhatian serius untuk dikembangkan dalam upaya meningkatkan derajat kesehatan nasional.
Kementrian kesehatan sudah menunjukan keseriusanya terhadap pengembangan pelayanan kesehatan tradisional ini sejak tahun 2010 dengan membentuk direktorat bina pelayanan kesehatan tradisional, alternative dan komplementer melalui permenkes no 1144 di tahun 2010. Di sana diatur dengan jelas struktur organisasi dan tata kerja yang diharapkan oleh kementrian kesehatan RI dari direktorat ini. Rencana strategi untuk peningkatan kualitas layanan kesehatan tradisional pun mendapatkan penekanan khusus dari direktorat ini. Berbagai faktor yang mempengaruhi kualitas layanan tradisional antara lain pendanaan, kualitas Sumber daya pemberi pelayanan kesehatan tradisional, fasilitas serta program – program pemberdayaan masyarakat beserta indikator keberhasilanya telah diatur dengan jelas.
Tentu saja dengan adanya direktorat bina pelayanan kesehatan tradisional, alternative dan komplementer ini sangat diharapkan berdampak pada peningkatan ketertarikan orang – orang dijaman modern ini untuk tetap memanfaatkan pelayanan kesehatan tradisional dalam jalur yang benar dan aman tanpa mengabaikan pengobatan modern, melainkan berintegrasi dengan baik dalam system pelayanan kesehatan sehingga dapat meningkatkan derajat kesehatan masyarakat Indonesia.
Agar pemanfaatan obat tradisional aman dan terintegrasi dengan pengobatan modern Kemenkes melalui Permenkes no 6 tahun 2016 telah mengatur formularium herbal asli Indonesia yang dapat dipertangungjawabkan secara ilmiah. Didalam formularium itu terdapat 24 kelompok herbal asli Indonesia yang direkomendasikan. Pengelompokan ini dibuat berdasarkan kasit terhadap penyakit. Beberapa diantaranya adalah; herbal untuk supportif penyakit jantung dan paru yaitu bawang putih, kunyit dan pegagan. Herbal untuk paliatif dan suportif kanker yakni kunyit putih, sirsak, temu kunci. Herbal untuk batuk seperti adas dan tini. Herbal untuk diabetes atau penyakit gula yaitu brotowali, kayu manis, pare dan salam. Harapannya adalah dengan formularium herbal yang sudah teruji secara ilmiah ini dapat menjadi acuan bagi para tenaga kesehatan yang akan melakukan praktek herbal dimanapun terutama di Puskesmas sebagai faskes primer yang mudah dijangkau oleh masyarakat luas. Oleh karenanya mari bersama pemerintah kita ikut mensukseskan upaya pelayanan kesehatan tradisional dengan benar dan aman.
Fenomena tersebut menarik untuk dipahami dan dicermati lebih lanjut. Hal ini dapat memperlihatkan model pengobatan modern dalam meningkatkan kualitas kesehatannya.
Untuk mengetahui lebih dalam tentang keanekaragaman hayati di Indonesia berikut tip dan trik mendaki gunung klik letsgohiking
Daftar Pustaka:
Pahlewi R B. 2017. Keanekaragaman Jenis Kupu-Kupu (Lepidoptera) di Tiga Kondisi Habitat di Resort Cangkringan Taman Nasional Gunung Merapi [skripsi]. Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor.
Rahayu G A. 2016. Keanekaragaman dan Peranan Fungsional Serangga pada Area Reklamasi di Berau, Kalimantan Timur [magister]. Sekolah Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor.
Post a Comment