Tradisi Kawin Tangkap ala Sumba
Kehidupan Masyarakat Pulau Sumba |
Pulau Sumba adalah sebuah pulau di Provinsi Nusa Tenggara Timur, Indonesia. Sumba berbatasan dengan Sumbawa di sebelah barat laut, Flores di timur laut, Timor di timur, dan Australia di selatan dan tenggara.
Beberapa waktu terakhir, praktik kawin tangkap di daerah pulau Sumba ramai dibicarakan baik lewat media massa maupun media elektronik setelah muncul video 'kawin tangkap' yang viral pada akhir Juni lalu. Dalam video itu memperlihatkan seorang perempuan di Kabupaten Sumba Tengah dibawa secara paksa oleh sekelompok pria yang dikenal masyarakat setempat dengan sebutan ‘kawin tangkap’, atau penculikan untuk perkawinan.
Akibatnya, pro dan kontra tentang tradisi kawin tangkap pun mencuat.
Bahkan sebuah petisi penolakan terhadap praktek kawin tangkap juga diterima local trip pada 21 Desember 2020.
Dalam petisinya tertulis:
Akibatnya, pro dan kontra tentang tradisi kawin tangkap pun mencuat.
Bahkan sebuah petisi penolakan terhadap praktek kawin tangkap juga diterima local trip pada 21 Desember 2020.
Dalam petisinya tertulis:
Perempuan diculik dan dipaksa nikah dengan laki-laki nggak dikenal dianggap wajar di Sumba, Nusa Tenggara Timur. Aksi ini terkenal dengan sebutan kawin tangkap.
Tahun 2017, seorang perempuan dari Sumba Tengah (28 tahun) ditangkap dan dipaksa untuk menikah dengan laki-laki yang tidak dicintainya. Saat itu ia berteriak menolak, meronta-ronta, menangis.
Saking putus asanya, ia sampai menampar dan menggigit tangan si laki-laki. Setelah pihak keluarga perempuan bernegosiasi panjang, barulah ia bisa bebas usai ditahan selama 6 hari.
Pada Desember 2019, seorang perempuan di Anakalang, Sumba Tengah, juga diculik. Ada 7 laki-laki memaksanya masuk ke mobil pick up. Ia sempat meronta namun tidak ada yang menolong. Pihak keluarga perempuan akhirnya berhasil menjemput korban dan menggagalkan pernikahan itu.
Yang terbaru, Juni 2020, ada lagi praktik kawin tangkap di Anakalang. Seorang perempuan (21 tahun) ditangkap di rumah tetangganya. Korban juga berteriak dan meronta namun tidak dihiraukan.
Gimana perasaanmu kalau jadi perempuan atau punya saudara perempuan yang kena kawin tangkap waktu ke Sumba?
Banyak perempuan jadi korban dan terpaksa menikah dengan penculiknya. Kejahatan ini dianggap wajar dengan dalih tradisi. Korban-korban kawin tangkap pun tidak berdaya sebab tidak ada payung hukum yang melindunginya.
Melalui petisi ini, kami ingin mengajakmu untuk mendorong Gubernur Nusa Tenggara, Bapak Viktor Bungtilu Laiskodat agar mengeluarkan Aturan Larangan Praktik Kawin Tangkap di 4 Kabupaten di Pulau Sumba.
Kalau ada aturan hukum yang melarang praktik kawin tangkap ini, pelakunya bisa dihukum sehingga ada efek jera. Perempuan yang jadi korban pun dapat perlindungan sehingga tidak terpaksa menikah dengan lelaki asing.
Lantas apa dan bagaimanakah tradisi kawin tangkap di Sumba. Sebelum sobat triper menjadi gagal paham, berikut informasi tentang tradisi kawin tangkap yang dikumpulkan dari penelusuran local trip.
Rato Raga Maru salah satu Tokoh Adat (Rato) Loli, mengatakan antara kawin tangkap (‘yoppa’ dalam bahasa Loli) dengan bawa lari perempuan (‘kedu ngiddi mawinne’ dalam bahasa Loli) sangat berbeda jauh. Kawin tangkap (yoppa) itu terjadi karena sudah ada persetujuan antara laki-laki dan perempuan yang mana mereka pacaran di tempat yang tidak tepat dan hanya mereka berdua sehingga ditangkap atau yoppa oleh keluarga perempuan. Sedangkan untuk bawa lari perempuan merupakan kejadian dimana perempuan di ‘culik’ atau dibawa lari tanpa sepengetahuan perempuan dan keluarganya dan tidak memiliki hubungan percintaan sebelumnya.Bahkan Rato Raga Maru dengan tegas menyatakan bahwa antara kawin tangkap dan bawa lari perempuan sangat berbeda.
Dalam tradisi lama Sumba, tradisi kawin tangkap tidak serta merta bisa dilakukan. Tradisi kawin tangkap biasanya dilakukan oleh keluarga kaya karena terkait dengan mahar yang harus dibayarkan pada pihak perempuan mahal.
Prosesi Kawin Tangkap di Sumba. Foto: antara |
Lantas perempuan yang akan ditangkap sudah dipersiapkan, sudah didandani pakaian adat lengkap. Pria yang akan menangkap perempuan itu juga sudah mengenakan pakaian adat dan menunggang kuda Sumba yang berhias kain adat. Setelah perempuan ditangkap, pihak orang tua laki-laki langsung bawa satu ekor kuda dan sebuah parang Sumba ke pihak perempuan sebagai simbol permintaan maaf dan mengabarkan bahwa si perempuan sudah ada di rumah pihak laki-laki.
Jika adat ini sudah berjalan, tidak ada lagi persoalan diantara dua keluarga dan perempuan diperlakukan dengan terhormat sesuai tradisi Sumba. Jadi tidak ada paksaan dari pihak laki-laki ke pihak perempuan.
Jika adat ini sudah berjalan, tidak ada lagi persoalan diantara dua keluarga dan perempuan diperlakukan dengan terhormat sesuai tradisi Sumba. Jadi tidak ada paksaan dari pihak laki-laki ke pihak perempuan.
Baca juga: Fakta Monumen Simpang Lima Gumul
Namun tradisi kawin tangkap yang terjadi sekarang cenderung melenceng dan tidak sesuai dengan tradisi. Kawin tangkap sekarang lebih mirip penculikan dan mempermalukan perempuan. Perempuan ditangkap di pasar atau di pusat keramaian, kemudian dipaksa menikah dengan laki-laki yang tidak disukai, bahkan tidak dikenal. Perempuan ditangkap dan dipaksa untuk menikah dalam kawin tangkap oleh pihak laki-laki menjadi kekerasan teroraganisir terhadap perempuan. Kawin tangkap yang seharusnya menjadi kekayaan tradisi Sumba justru menimbulkan persoalan baru.
Tidak hanya merendahkan perempuan, praktik kawin tangkap yang terjadi sekarang, juga melecehkan tradisi luhur nenek moyang orang Sumba yang berlangsung turun temurun.
Namun, diluar silang sengkerut yang menyelimuti tradisi kawin tangkap, sobat triper yang datang ke Sumba pasti penasaran dengan tradisi kawin tangkap yang telah menjadi tradisi, yakni seorang perempuan dengan pakaian adat lengkap dengan gelang gading dan aneka perhiasan lainnya, ditangkap lelaki mengenakan pakaian adat yang datang menunggang kuda Sumba yang gagah, kemudian dilanjutkan dengan proses perkawinan dalam adat Sumba yang megah.
Tentu saja uniknya tahapan prosesi kawin tangkap, mulai dari tunda binna (tahap ketuk pintu), kette katonga (tahap masuk minta), hingga dikki (tahap pindah) bisa menjadi kekayaan budaya lokal dan masuk dalam rangkaian jadwal wisata Nusantara.
Kontributor: Fransiscus Yacobus Mariameo
Post a Comment