Wajah Sedih Kedih yang Semakin Menyedihkan
Kedih (Presbytis thomasi). Foto: istimewa |
Jika sobat triper berjalan di hutan Sumatera, dan beruntung, bakal bisa melihat primata dengan jambul hitam dan abu-abu di kepala bernama kedih (Presbytis thomasi).
Kedih adalah spesies primata yang tergabung dalam famili Cercopitecidae, dari marga Presbytis dengan matanya sedikit sayu dan berparas sedih.
Baca juga: Kenali Perbedaan Monyet dan Kera
Hewan endemik Sumatera yang sulit dilihat ini ditemukan di bagian utara Danau Toba (Sumatera Utara) Riau, dan Aceh. Jenis ini hanya menempati hutan primer dataran rendah, hutan sekunder, dan sesekali ada di perkebunan karet.
Sebagai penanda, kedih mengandalkan suaranya yang khas dan keras. Tujuannya, memanggil keluarganya berkumpul. Wilayah jelajah kedih digunakan sebagai tempat mencari makan, berkembang biak, bersembunyi dari predator, serta bersarang. Dalam satu kelompok, biasanya ada satu pejantan dengan betina dan sejumlah anaknya. Kedih jantan selalu melindungi kelompoknya dari ancaman hewan lain, atau intervensi kedih jantan pesaing.
Baca juga: Sungai di Jogja Terancam Invasi Aligator
Makanan utama kedih adalah buah-buahan, daun, serangga kecil, dan bunga cabang. Bagi upaya pelestarian hutan, kedih sangat berperan penting, karena biji yang ia makan dan dikeluarkan dalam bentuk kotoran, akan tumbuh kembali sebagai bentuk upaya meregenerasi pepohonan.
Kedih memiliki ekor lebih panjang dari badannya. Jika panjang badannya sekitar 420-610 milimeter, maka ekornya sekitar 500-850 milimeter. Beratnya antara 5 hingga 8,1 kilogram.
Habitat kedih semakin terancam akibat kebakaran hutan dan alih fungsi lahan ditambah ancaman perburuan. Lembaga Konservasi Dunia (IUCN) memasukkan kedih dalam status Rentan (Vulnerable/VU).
Kehidupan kedih semakin terancam akibat rusaknya habitat mereka. Foto: mongabay |
Di Indonesia, kedih merupakan jenis satwa yang kehidupannya dilindungi berdasarkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 106 Tahun 2018 tentang Jenis Tumbuhan dan Satwa Dilindungi.
Sumber: Mongabay
Post a Comment